Ketika sedang jalan-jalan di sebuah swalayan di Yogyakarta, saya menemukan tumpukan buah berbedak di antara buah-buahan bertampang mulus lainnya. Saya jadi ingat, itu buah kesemek dan terakhir (dan pertama kali) makan adalah beberapa tahun yang lalu, ketika masih tinggal di Bantul. Lalu saya dan Puan Peri memutuskan untuk membelinya karena dia juga penasaran dengan buah tersebut.
Singkat cerita, kami jatuh cinta dengan buah satu ini. Meskipun tampangnya kurang menggoda, namun rasanya sungguh eksotis. Kombinasi manis dan sepat, serta kontur daging yang mirip dengan buah sawo, tapi rasanya mirip-mirip pepaya yang masih mengkal.
Hari ini kami mampir mencari buah Kesemek (Diospyros kaki) lagi. Satu kilo harganya cuma Rp. 5000, sangat jauh di bawah harga buah-buah bertampang menarik lainnya. Agak geli ketika membayarnya, nenteng sekantung plastik namun dengan harga yang cukup murah. Kalau saya baca di Wikipedia, Kesemek bernilai tinggi di Jepang dan China. Kenapa di Indonesia harganya sangat rendah?
Mungkin jika kesemek dicuci dulu sebelum dijual (saat ini Kesemek dijual dalam keadaan berbalur kapur, untuk menghilangkan rasa sepatnya), kemudian dihembuskan cerita-cerita untuk mendongkrak popularitasnya, saya yakin harganya bisa jadi lebih baik.
Cerita yang saya maksud misalnya adalah jaman dulu Ken Dedes sering makan buah Kesemek untuk menjaga kecantikannya, juga membentuk betisnya menjadi indah sehingga Ken Arok tergila-gila. Tentu cerita tersebut akan membuat buah ini banyak diburu oleh nona-nona yang umumnya akan melakukan banyak cara untuk mencapai kesempurnaan 😀
Ketika memakan buah Kesemek ini saya baru nyadar bahwanya sangat kecil, kurang lebih sebesar biji buah tomat. Apa karena berbiji kecil maka Kesemek menjadi kurang populer? Sedangkan Durian cukup populer karena bijinya gede-gede? Ah tendensius sekali.
Leave a Reply