Harmoni itu bukan garis lurus, tapi mirip rel kereta api yang ketika garis kanan melengkung maka garis kiri juga ikut melengkung agar tidak saling mendekat sehingga berbenturan atau saling menjauh sehingga tidak kenal satu sama lain. Juga bukan menyesali masa lalu dan meratap serta mengutuk diri sendiri. Melainkan melihat ke masa lalu, mencari lobang yang ada lalu membuat suatu penutup untuk menambal kejahatan di masa lalu dengan berbuat baik di saat sekarang atau masa yang akan datang.
Paling tidak itulah pengertian harmoni bagi saya. Dan kemarin, dalam waktu yang hampir bersamaan saya mendapatkan dua hal yang membelokkan cara pandang saya selama ini tentang beberapa hal.
Pertama adalah tentang ketidakadilan saya terhadap badan saya selama ini. Dalam beberapa hal saya terlalu mengandalkan pikiran saya, bahwa semua hal dapat dipikirkan. Tapi kemarin seseorang mengingatkan kepada saya tentang pentingnya memberi keadilan kepada badan.
Bukan karena badan minta keadilan tetapi karena kapasitas otak terlalu kecil untuk menampung segala macem. Jadi harus ada beberapa tugas yang diserahkan kepada badan, agar badan juga bisa bekerja dan bermanfaat. Domo arigatou, Sensei!
Lalu yang kedua, adalah sebuah tulisan di buku yang ditulis di tahun 80-an, pinjeman dari Memed. Ada satu bagian yang menyebutkan bahwa percuma paham hakikat namun syariat tidak dijalankan.
Tulisan itu begitu mengena di hati saya, menyadarkan betapa pendeknya jalan berpikir saya. Ah, saya beruntung dua kali kalau begitu. Tuhan tak pernah capek untuk menegur saya.
Maaf jika Anda ga paham maksud tulisan ini, memang tujuan saya hanya untuk kontemplasi saja. Trus soal judul Harmoni itu, saya cuma kebingungan nyari judul. Atau mungkin sebenernya saya kebingungan menjelaskan apa yang sedang terjadi di pikiran saya 😀
Leave a Reply