Mumpung bulan sedang purnama, ayo keluar dan gelar tikar –atau kardus bekas kalau tak punya. Bawa bantal untuk alas duduk agar pantat tidak pegal dan sarung atau selimut agar lebih nyaman.
Duduklah di atas bantal, lalu lihat ke atas, ke arah purnama yang sedang bersinar. Jangan lupa ambil cemilan atau kolak sisa buka puasa. Amboi..
Jaman saya masih kecil dulu, orang-orang tua bercerita bahwa bentuk permukaan bulan saat purnama membentuk gambaran seorang bidadari yang sedang memangku kelinci. Ada juga yang menyebutkan bahwa yang dipangku adalah seekor kucing. Entah mana yang benar.
Waktu itu listrik belum masuk ke desa kami sehingga malam purnama yang cerah adalah suatu anugerah tersendiri.
Sementara orang-orang dewasa duduk di tikar pandan atau lampit bambu sambil bertukar cerita tentang keadaan sawah atau jalan masuk desa yang remuknya nauzubillah, anak-anak kecil malam itu seolah dibebaskan berlarian main petak umpet atau ninja-ninjaan menggunakan kain sarung.
Purnama sidi adalah waktu di mana kami boleh bebas berlarian atau main petak umpet di halaman rumah tetangga pada malam hari tanpa khawatir menabrak pohon saat mencari tempat untuk bersembunyi.
Meskipun resiko menginjak kotoran ayam yang bertaburan di halaman masih mengintai, kami akan tetap bermain hingga salah satu anak ada yang  menangis –karena jatuh atau melihat demit– atau disuruh pulang bapaknya sambil menenteng batang kayu.
Saya hampir mengabaikan kenikmatan purnama tersebut hingga setahun yang lalu saat diajak teman mampir ke sebuah rumah yang dinding depannya dilapisi lembaran papan kayu di Jalan Aceh, Bandung.
Sekitar jam 11 malam, datanglah seorang bapak yang usianya kira-kira 50-60 tahun. Ia bertanya kepada anak-anak muda yang bercengkerama di sana, “purnamanya bagus nih, ngga pada keluar?”
Leave a Reply