Awas, tulisan kali ini jauh lebih panjang dari sebelum-sebelumnya. Anggap saja tulisan kali ini adalah sebuah cerpen gitu. Saya nulis ini sekitar tahun 2001-2002, pas masih di SMU atau mungkin beberapa bulan setelah lulus. Tadi pagi saya sempatkan untuk mengetik ulang dari lembaran-lembaran kertas yang saya temukan.
Dijamin tulisan ini jelek, secara saya memang gak pinter nulis, apalagi ngerayu cewek *lho?*
– = o = –
Mat Koni melipat koran yang baru selesai dia baca, lalu tertawa terbahak-bahak hingga penghuni sel-sel di kanan-kirinya terbangun dari tidurnya. Sesaat kemudian pisuhan-pisuhanpun beterbangan dan bersahutan.
Mat Koni cuek, seolah tak mendengar omelan-omelan di sekitarnya. Tak ada niat sedikitpun untuk mbalesi semua pisuhan-pisuhan yang ditujukan kepadanya. Mat Koni anti misuh, itu pedomannya. Dia teringat pesan mbah Kyai Sujiwo untuk tidak misuh meski kadang terasa Tuhan sedang nggak adil kepada kita.
Direbahkan badannya di lantai sel sempit tersebut meski lembab dan bau pesing. Matanya menerawang dan ia tersenyum, besok dia akan mati. Sebenarnya pihak pengadilan sudah memberinya kesempatan untuk mengajukan satu permintaan terakhir sebelum dihukum mati. Namun Mat Koni wegah, males. Dia tahu permintaan terakhirnya pasti tidak akan dikabulkan, secara permintaan terakhirnya adalah untuk dibebaskan.
Masih terbayang olehnya sosok Fatimah, muridnya yang ia bunuh. Masih tampak jelas Fatimah yang datang surup-surup pas gerimis, mengenakan jilbab longgar dengan kombinasi celana dan kaos ngapret, mirip tukang selam. Mat Koni teringat bagaimana dada dada Fatimah yang pating gemantung itu membuatnya kelagepan saat membaca ayat-ayat Al Quran. Juga bagaimana bokong Fatimah yang semlohai membuat sarung Mat Koni sedikit terangkat dan membuatnya dag-dig-dug tak berkutik, penasaran.
Apalagi saat Fatimah mulai mepet-mepet pas minta diajarin bagian-bagian tertentu yang kurang dipahaminya, ada rasa greng aneh yang menjalari sekujur tubuhnya.
Iman Mat Koni runtuh juga akhirnya, saat Fatimah yang saat itu memakai jilbab biru dengan sengaja menyenggol-nyenggolkan dadanya ke pundak Mat Koni. Akhirnya yang dua pun menjadi satu.
Setelah keduanya menyelesaikan hasratnya, Fatimah mengancam akan menceritakan ke orang lain bahwa dia telah diperkosa oleh Mat Koni. Dia tidak akan bercerita kepada orang lain jika Mat Koni yang jago bela diri itu mau menghabisi Dul Pethak, cowok gebetan Fatimah yang malah ngelamar Warsini, anaknya Mbok Jiyem bakul pecel dekat setasiun.
Mat Koni tersinggung, dia tidak terima atas perlakuan Fatimah. Diam-diam dia merapal ajian brojomusti warisan dari kakeknya. Dengan pukulan upper cut ala Mike Tyson, nyawa Fatimah melayang diiringi dengan suara jeritan sedikit mesum.
Teng.. teng.. teng.. teng..
Mat Koni terkejut. Tanpa disadarinya hidupnya tinggal satu setengah jam lagi. Dilepasnya akik merah delima yang dia pakai, lalu dibuang ke dalam toilet. Dia tidak ingin membuat para algojo yang akan menghabisinya menjadi malu karena peluru yang mereka tembakkan nggak bisa nyungsep ke dalam tubuhnya.
“Pak.. Pak penjagaaa..!!”
“Ono opo Mat?!”
“Nyuwun sewu Pak, saya mau wudhu”.
Kemudian penjaga tersebut mengantarnya mengambil wudhu, dan mengantar kembali ke dalam sel.
“Matur nuwun Pak..”
Mat Koni pun menggelar koran yang dia baca tadi. Dengan khidmat dia berdiri menghadap ke arah barat. Setelah komat-kamit sebentar, diangkatnya kedua tangan menyentuh telinga dan kemudian tenggelam dalam ekstase-nya.
Kemudian Mat Koni duduk dan diangkatnya kedua tangan tinggi-tinggi. “Duh Gusti tolong ampuni Mat Koni yang rendah ini. Ampuni dia karena telah berbuat mesum, serta melangkahi Izroil mencabut nyawa orang. Tapi Gusti, bukankah semua ini telah Kau takdirkan?”.
“Mat Koni tidak menyesali apa yang telah dia perbuat Gusti, karena dia yakin bahwa semua sesuai kehendak-Mu. Dia yakin bahwa menghabisi nyawa Fatimah adalah benar, sebab jika tidak maka Dul Pethak-lah yang akan mati, entah oleh tangan siapa, meninggalkan Warsini yang sedang hamil dan simboknya yang sedang pilek”.
“Lalu Gusti, apakah antara Mat Koni dan Fatimah malam itu adalah dosa? Ah, sekalipun dosa Gusti, Mat Koni matur nuwun kepada Panjenengan untuk susu segar yang Gusti berikan di malam itu”.
Teng.. teng.. teng.. teng.. teng.. Setengah jam lagi.
Pintu sel dibuka, empat orang petugas dengan senjata lengkap berdiri di hadapan Mat Koni.
“Sudah siap Mat?”
“Sampun Pak, saya mau jalan sendiri saja. Enggak usah diikat.”
“Yo uwis, ayo!”
Mat Koni melangkah keluar dari pintu sel, dan berjalan menuju ke suatu arah, dengan empat petugas tersebut berjalan di belakangnya layaknya anjing mengikuti majikan.
Mat Koni tersenyum, dia merasa seperti presiden yang dikawal paspampres yang sangar-sangar.
“Niki Gusti, Mat Koni badhe sowan..”, ucapnya lirih sambil terus melangkah.
– = o = –
Mbah Darmo
Buka Halaman 2 nya yen 😀 mosok sakmene tok, nangung.
linoxs
Bikin lanjutannya…kita sebar luaskan !! Kalo perlu sampe Mat Koni II, Mat Koni Saba Kota, Mat Koni dan JIn Mesum, dan serial Mat Koni lainnya. ^^
DeathnotE
Maknyusss….jeng
btw, dpt inspirasi ‘pating gemantung’ dr mana jeng?
secara situ kan selama ini serius mendalami ‘eep science’ 😀
*/kabooooooor
agung
errr.. Mat Koni itu siapa sih jeng ? sodaraan sama si Bram ya ?
rd Limosin
kupipes, baca di rumah aj. Sori lg buru²
klunxer
yo wesss…
kalo gitu giliran saja nih jeng, baca tuh pisuhan eh pisuhan lagi… cerita balesan sayah di url yg bisa engkau cari ;), clue nya, sandal :p
Riyogarta
Keren …
Ayo teruskan baka mengarangnya 😉
Yeni Setiawan
ha ha makasih mas Riyo ^_^