Bagi beberapa orang, nasi jagung mungkin hanya di makan pada kesempatan tertentu. Misalnya sebagai jajan pasar atau ketika mengunjungi suatu tempat terpencil.
Tapi jaman dulu saya pernah mengalami makan nasi jagung karena hanya jagung yang kuat dibeli oleh masyarakat di kampung saya. Saya lupa berapa harganya, tapi kata ibu harga jagung tidak sampai separuh harga beras perkilonya. Waktu itu umur saya sekitar 8-10 tahun, entah sedang krisis apa. Yang jelas saya kadang mendengar ibu mengeluhkan mahalnya harga beras.
Mulanya jagung digecrek (ditumbuk) di lesung hingga sebesar butiran silica gel yang sering ada di dalam kotak sepatu itu, dicuci dan kemudian direndam selama 3 hari 3 malam. Setelah 3 hari lalu dipususi (dicuci) sampai bersih dan dikukus menggunakan kukusan (anyaman bambu berbentuk kerucut) dan dandang (seperti panci namun tinggi) tembaga.
Setelah setengah matang, kemudian calon nasi jagung tersebut ditumpahkan ke atas tampah (wadah dari anyaman bambu yang lebar). Calon nasi jagung ini disebut karon, enak dimakan dengan parutan kelapa. Karon ini kemudian disirami dengan air mendidih sambil diaduk-aduk menggunakan entong dari kayu, proses ini disebut ngaru. Kemudian dikembalikan ke kukusan dan dikukus kembali sampai matang.
Entah seberapa kandungan karbohidrat di nasi jagung ini. Yang jelas makan nasi jagung dua piring rasanya masih belum kenyang juga, mungkin dua piring nasi jagung setara dengan nasi beras satu piring. Karena itu kadang ada yang mencampurnya dengan beras agar bisa lebih mengganjal perut dan memberikan tambahan tenaga.
Nasi jagung nikmat dimakan dengan guluban/godangan (sayuran dicampur sambal kelapa), sayur menir (sayur bayam dengan campuran pecahan beras) atau sambal tomat. Jika makan nasi jagung dengan sayur, maka sendok menjadi mutlak hukumnya karena makan dengan menggunakan tangan atau muluk agak susah, nasinya lompat kemana-mana π
Beberapa tahun yang lalu, selepas menuruni lereng Gunung Sundoro (atau Sindoro) saya dan rombongan mampir ke rumah penduduk untuk numpang cuci muka dan mandi. Begitu selesai, tuan rumah mempersilahkan saya untuk makan dulu sebelum pulang. Rasa hati ingin menolak namun segala sesuatunya sudah disiapkan di meja.
Ternyata beliau menyuguhkan nasi jagung sebagai menu utama. Sayurnya adalah daun kol yang entah disayur apa, sepertinya hanya direbus dan digarami sedangkan lauknya ikan asin dan kerupuk.
Pacar saya ketika itu, yang berasal dari Padang, merasa aneh dengan menu makanan seperti itu. Akhirnya saya paksa makan meski sedikit demi menghormati tuan rumah. Mungkin itu memang pengalamannya makan nasi jagung pertama kali π
Luar biasa perasaan saya diperlakukan laksana tamu istimewa di situ. Beberapa bulan kemudian ketika saya naik Gunung Sundoro lagi, saya mampir ke rumah ibu tersebut untuk berterima kasih sambil membawa oleh-oleh ala kadarnya.
Kembali ke nasi jagung, hari Sabtu-Minggu kemarin ketika saya pulang ke rumah orang tua di Purwodadi, Budhe yang rumahnya di sebelah rumah ibu juga masak nasi jagung. Tentu saja kali ini bukan karena tidak kuat beli beras tetapi sekedar nostalgia nasi jagung.
Meskipun penduduk di kampung saya belum jadi kaya-kaya, namun terpaan krisis yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu sepertinya berhasil membuat warga di sini kebal. Nyatanya saat ini tidak ada yang mengeluh atau nekat bunuh diri.
Saya ingat suatu ketika Cak Nun pernah berkata bahwa masyarakat Indonesia saat ini kemampuan survivalnya luar biasa. Terjangan berbagai krisis tidak membuat mereka putus asa, karena krisis atau tidak hasilnya sama saja. Bahkan negara berubah nama-pun tidak akan membuat masyarakat mati, karena negara hanya dimiliki oleh sebagian kecil penduduk Indonesia. Sisanya, berdiri dan berjuang sendiri-sendiri untuk kehidupan diri dan keluarga mereka masing-masing tanpa pernah peduli apa yang mereka dapatkan dari negara. Itulah penghuni Indonesia yang sebenar-benarnya.
NOTE: Gambar asli saya ambil tanpa ijin dari Fahimi.org
Leave a Reply