Baru saja saya lihat di televisi tentang penggusuran rumah di Tuban, Jawa Timur dan ditampilkan reaksi tergusur yang mengamuk dan berteriak-teriak sekencangnya karena tidak terima rumahnya digusur:
“Aku ora terima omahku digusur! Iki lho sing arep mbok adepi! Aku, putune Mbah ****“
Yang kurang lebih artinya “Saya tidak terima rumah saya digusur! Ini lho orang yang akan Anda hadapi! Saya, cucunya Mbah ***” (maaf saya lupa nama Mbah yang disebutkan).
Kemudian saya teringat fenomena yang hampir sama di dekat tanah kelahiran saya, tepatnya di Desa Selo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan.Dahulu kala, penguasa Desa Selo yang bergelar Ki Ageng Selo tersebut mempunyai kesaktian yaitu bisa menangkap kilat/petir. Suatu hari dia menangkap petir yang hampir menyambarnya dan kemudian petir tersebut beliau ikat di pohon Gadri/Gandrik.
Nah, di jaman sekarang masih lazim ditemukan orang-orang tua yang akan berteriak “Gandrik! Aku putune Ki Ageng Selo!” ketika kilat menyambar dengan tujuan agar kilat/petir tersebut menjauhinya.
Tapi ternyata bukan hanya kita yang bawa-bawa nama leluhur kita kok. Jika Anda pernah membaca komik Detektif Kindaichi maka Anda akan menemukan betapa seringnya Kindaichi berkata bahwa dia akan menyelesaikan suatu kasus demi menjaga nama baik kakeknya yang seorang detektif juga, Kousuke Kindaichi.
Kembali ke cerita Ki Ageng Selo di atas, pohon Gandrik yang pernah digunakan untuk mengikat petir sampai kini masih berdiri di depan komplek makam Ki Ageng Selo (paling tidak beberapa tahun yang lalu, ketika saya kesana pas kelas enam SD :D)
Soal menangkap petir itu, Anda boleh percaya namun juga boleh tidak percaya. Bukankah secara umum bangsa ini adalah bangsa yang terlalu mudah untuk percaya dan sebaliknya juga terlalu mudah untuk tidak percaya? Padahal Imam Ghazali pernah berkata bahwa keraguan itu awal dari iman. Karena ketika ragu kita akan mencari kebenaran dari hal yang kita ragukan tersebut. π
Leave a Reply