Tulisan saya sebelumnya tentang sifat-sifat wanita berdasar fisiknya ternyata mengundang berbagai reaksi. Ratusan ribu email tiba-tiba masuk ke inboks saya dan serentetan private message masuk ke akun Yahoo! Messenger saya. Ada yang minta diramalin sifat pacarnya (emangnya saya dukun? :P) ada pula yang menganggap warisan leluhur saya itu hal yang syirik.
Yang menarik adalah reaksi Jeng Mira yang tadinya menganggap saya menggunakan “kacamata” warisan leluhur saya itu untuk menilai sifat wanita. Langsung saja saya jelaskan bahwa itu bukan kacamata saya.
Sebuah kacamata yang bernama turangganing wanita itu hanya saya jadikan wawasan belaka. Saya tidak pernah menilai seseorang dari penampilan fisiknya, kecuali sebuah nilai bahwa seseorang itu cakep atau jelek, secara subyektif π
Kerap kali saya kenal seseorang dan kemudian seiring berjalannya waktu saya jadi tahu sifatnya, jadi tahu kebiasaannya. Lalu iseng saya bandingkan dengan panduan leluhur itu dan ternyata berbeda, lalu saya berkata “Tuh kan, salah.”.
Waktu berjalan lagi, dan tiba-tiba sesuatu terjadi. Orang yang saya kenal itu tiba-tiba mempunyai sifat sama dengan yang tertulis ratusan tahun yang lalu, itu membuat saya terkejut. Terkejut karena saya pikir dia tidak seperti itu, berdasar pengalaman sehari-hari. But it happens sodara-sodara.
Lalu saya pelajari polanya, saya selidiki kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari dan sampailah pada suatu kesimpulan bahwa turangganing wanita itu bukan suatu judgement terhadap seseorang melainkan sebuah catatan potensi. Jadi misalnya di situ tertulis wanita berbulu tangan lebat mudah diajak kencan, bukan berarti dia wanita murahan.
Juga bukan seseorang yang bisa diajak ketemuan sesuka hati, melainkan seseorang yang mempunyai potensi untuk dekat dengan orang lain dengan cara yang tidak terlalu sulit –tapi sekali lagi, juga bukan gampangan.
This is the art, seni memahami tulisan-tulisan leluhur ini harus kita pahami. Tidak perlu kok diyakini sebagai suatu agama baru dalam rangka hubungan pria dan wanita. Cukup dijadikan sebagai.. sebut saja early warning system agar kita bisa selalu waspada. Toh ada kalanya muncul false alarm bukan?
Sehingga dengan pengetahuan-pengetahuan itu kita bisa tahu bagaimana mencintai wanita dengan baik dan benar, bukannya memanfaatkan pengetahuan itu untuk mendapatkan sebanyak mungkin cinta dari wanita-wanita.
Tapi entah ding, saya juga masih terus belajar dan belajar. Saya baru hidup dua setengah dasawarsa, itu pun satu dasawarsa pertama saya habiskan untuk menelusuri sawah-sawah sambil membawa pancingan dan ketapel π
Leave a Reply