Suatu hari saya mengikuti kuis memberi nama mesin pemanggang kopi di blog Cikopi, meskipun tidak menang tetapi mendapat hadiah berupa satu kilogram kopi mentah.
Hari Kamis kemarin bungkusan itu datang ke kantor. Tetapi entah bagaimana ceritanya, nama yang tertulis di paket tersebut adalah nama Lina 😀
Satu kilogram kopi mentah, atau biasa disebut green bean, mau tidak mau saya harus mengolahnya terlebih dahulu sebelum bisa dinikmati.
Tapi sepertinya itulah keinginan Mas Christian, pemilik Froco Coffee yang mengirimkan kopi tersebut. Lagi pula ini tantangan buat saya. Selama ini hanya membeli coffee bean yang sudah di-roast lalu saya giling sendiri dengan sebuah mesin giling kopi ukuran kecil merk Braun, hadiah dari Pak Toni.
Tak menunggu lama, hari Jumat setelah jumatan dan beres-beres rumah (sok rajin), mulailah saya menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan untuk menyangrai kopi tersebut. Karena di-roast sendiri di rumah, maka alat yang bisa digunakan adalah wajan teflon. Sebenarnya saya lebih tertarik menggunakan kendil dari bahan tanah, tapi mungkin nanti di percobaan-percobaan selanjutnya.
Ini adalah kali pertama saya menggoreng kopi, atau istilah kerennya coffee roasting. Sebenarnya disebut menggoreng juga kurang tepat, karena tidak ada minyak yang digunakan. Tetapi kalau memanggang juga aneh, ah mbuh lah.
Saya ambil sekitar 100 gram-an (kira-kira, ngga ada timbangan) lalu saya panaskan wajan teflonnya. Setelah wajan terasa panas, kopi saya masukkan sambil diaduk-aduk dengan spatula kayu agar panasnya merata.
Sesuai petunjuk-petunjuk yang saya baca di berbagi literatur di internet, akan ada dua kali suara “ledakan”. Bukan ledakan ding, tapi letupan juga kurang tepat. Pokoknya akan ada dua kali suara cracking, suara “biji pecah” (ups..).
Cracking yang pertama terjadi sekitar 5-10 menit sejak kopi dimasukkan ke dalam wajan. Jangan lupa kopi terus diaduk-aduk agar tidak ada yang gosong.
Sekitar 5-10 menit sejak suara cracking yang pertama, kopi akan mulai terlihat mengkilat pertanda minyaknya keluar. Setelah itu akan ada crack yang kedua dan beberapa biji bisa melompat seperti saat membuat pop corn atau berondong jagung.
Setelah terdengan suara cracking kedua inilah biji kopi segera diangkat dari kompor dan dituang ke permukaan yang lebar agar suhunya cepat mendingin. Jika tetap berada di panci/wajan teflon, proses pemanasan di dalam biji kopi akan terus terjadi dan bisa menyebabkan biji gosong.
Dan inilah hasilnya, self-roasted coffee beans. Karena merupakan varian Toraja Tartor, maka tak salah jika kopi ini saya namai sebagai Tora-Tora Premium 😀
Hasil aslinya tidak seindah gambar di atas sih, kebetulan motretnya menggunakan filter untuk enhance warnanya 😀
Tapi saya puas dengan hasil percobaan pertama ini dan ingin mencoba teknik lain yang terlintas di kepala saya. Selanjutnya biji kopi tersebut akan bisa saya nikmati dengan metode pour over menggunakan alat dari Yudhis, atau bisa juga menggunakan metode french press menggunakan plunger dari Pakdhe Mbilung.
Yeni Setiawan
Pertamax!
antyo
Jadi, kapan disuguhi kopi cap Sandalian? 🙂
Yeni Setiawan
—
ini masih uji coba paman, kuwatir rasanya jadi nggak karuan 😀
mizan
Istilah padanan roasting dengan teknik ini mungkin “sangrai”. Menyangrai biji kopi.
Suke
wah kagak ngerti jadinya sepertia apa klo dikirimin yang masih mentah gitu…
escoret
kok ga ada kopi yg udah siap saji ? fotone…mana fotone..???
Yeni Setiawan
@mizan: betul, “menyangrai” 😀
@escoret: kopi yang siap saji selalu lupa motone peng, langsung disruput.
mira marsellia
nenek saya dulu suka menggosreng kopi sendiri hasil metik sendiri. Enak!
Indra Chaidir
kalau sangrai biji kopi itu di kampung saya, kami menyebutnya : “marandang kopi / merendang kopi” .. *jadi ingat daging rendang*.. hehehe
pa kabar mas yen .. dah lama nih gak mampir 😀
non
stelah crack yg pertama (proses sangrai)__sumpah,manteb,coba aja 🙂