Selama ini saya merasa tidak pernah mewakilkan permasalahan saya kepada anggota DPR maupun mahasiswa yang demo di jalanan, namun selalu saja mereka bawa-bawa nama saya, dalam cakupan rakyat Indonesia. Selalu saja mereka berteriak “atas nama seluruh rakyat Indonesia”. Rakyat Indonesia dengkulmu njeplak!
Ah lupakan bapak-bapak tua yang tinggal di gedung dewan itu, no hope for them. Tapi soal mahasiswa yang demo, itu yang memprihatinkan. Udah bawa-bawa nama rakyat Indonesia, misuh-misuhi polisi, ngelempari polisi dengan batu dan botol berbensin-bersumbu lalu merusak apapun yang mereka temui. Bodohnya.
Seandainya otak mereka berada di dengkul sekalipun, bukankah mereka punya dua dengkul dan itu pasti lebih baik daripada satu dengkul atau tanpa dengkul samasekali bukan? Makanya saya curiga dengan apa yang ada di dalam batok kepala mereka.
Sesabar-sabarnya polisi, kalau dipisuh-pisuhi lalu dilempari, apa gak gregetan juga? Masih untung polisi itu cuma bawa pentungan, bukan granat tangan. Kemudian ketika polisi membalas serangan (iya, ini serangan dan saya rasa polisi berhak membela diri dan kehormatan) dan ada pendemo yang terluka atau meninggal, seperti anak kecil mereka akan merengek-rengek dan bawa-bawa Komnas HAM lah, Kontras lah. Lha piye iki?
Berani nyerang kok gak berani diserang, mental apa itu? Simbah mereka pasti malu punya cucu seperti itu. Kalaupun serangan polisi membuat pendemo terluka bahkan meninggal, kenapa tidak dianggap wajar karena polisi memang dididik untuk seperti itu? Bukankah aktifis Forkot, Adian N, di TV One berkata bahwa anarkisme dalam demonstrasi itu ekses yang wajar? Berarti serangan balik dari polisi yang mempertahankan diri juga wajar dong.
Ibarat Anda mengusik banteng yang diam di kandang, kalau banteng itu balas ngamuk sampai Anda terluka atau tewas, tentu bukan salah banteng itu bukan? Tentu saja saya tidak bermaksud menyamakan polisi dengan banteng, cuma ingin menunjukkan bahwa bukan levelnya jika mahasiswa harus berantem dengan polisi yang memang dilatih untuk itu.
Lalu demo-demo juga sepertinya tanpa arah. Baca tulisan Alle tentang demonstrasi tolak kenaikan BBM di Jogja, entah dapat wangsit darimana, pendemo itu mendatangi gedung BI yang jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan kenaikan BBM. Kemudian tiba-tiba tuntutan berubah dari protes kenaikan BBM menjadi tuntutan pemeriksaan korupsi di BI! Lha munyuk tenan ini, demo kok plin-plan.
Yang lebih kurang ajar lagi, pimpinan kantornya Alle yang sudah dengan rela menemui pendemo itu malah dilempari pake tomat. Itu pasti karena otak mereka telah lama meninggalkan dengkul dengan sukses!
Juga demo-demo akhir-akhir ini yang semakin ra nggenah, semakin barbar, semakin menunjukkan kualitas otak –ups, they don’t have it– mereka. Duh jagad dewa batara..
Anak-anak ayam tanpa induk itu harus lebih banyak belajar sopan santun, harus lebih banyak belajar ilmu perang Sun Tzu, perlu belajar arti pepatah Jawa “menang tanpa ngasorake”, dan tentu saja melengkapi isi kepala mereka dengan hal-hal yang lebih bermutu.
Kalau cuma berteriak-teriak di jalanan tanpa mampu memberikan solusi yang jelas, saya rasa Al Majnun yang sering kita lihat di jalan-jalan itu bisa melakukannya dengan baik tanpa harus merubah status menjadi mahasiswa segala.
The point is, I never give a shit on your shoulders, jadi jangan bawa-bawa nama saya apalagi seluruh rakyat Indonesia saat melakukan perusakan atau demo-demo yang gak jelas itu ya.
Oh iya, sedikit informasi buat Anda semua. Pada malam sebelum kenaikan harga BBM kemarin, pemerintah sempat menggelar pertemuan dengan sejumlah presiden BEM dari universitas-universitas terkemuka di Indonesia dengan mediator Cak Nun (Emha Ainun Najib).
Pemerintah (saya lupa siapa yang mewakili pemerintah waktu itu) mengemukakan alasan-alasan kenapa BBM harus naik. Kemudian Cak Nun mempersilahkan presiden-presiden BEM tersebut untuk memberikan argumen dan solusi bagaimana caranya agar harga BBM tidak perlu naik dan ternyata tidak ada satupun yang sanggup memberikan solusi. Maka naiklah harga BBM dengan sukses.
NOTE:
Jadi saudaraku, tulisan ini tentu saja tidak saya tujukan kepada aktivis-aktivis yang memang mengabdi kepada rakyat. Saya yakin masih ada demo-demo yang benar-benar mencari keadilan, four thumbs up for them (dua tangan, dua lagi jempol kaki).
Leave a Reply