Ketika seseorang –menurut kita– bersalah, maka otomatis hati dan pikiran serta ucapan tentang dia tidak ada baiknya. Seolah lupa bahwa dia pernah berbuat baik kepada kita, seolah dia adalah manusia paling jahat se alam semesta.
Eh, saya tidak sedang membicarakan the smiling general yang saat ini sedang saya saksikan dengarkan acara pemakamannya di televisi. Saya berbicara dalam konteks yang lebih luas. “Dia” bisa berarti mantan pacar yang selingkuh, teman yang merebut pacar kita, atau siapapun yang menurut kita tidak layak untuk dimaafkan.
Saya hanya ingin bertanya, apakah kita lebih baik daripada dia? Atau, akankah kita melakukan hal yang berbeda –yang menurut kita lebih baik– saat kita berada di dalam posisi dia?
Ah lupakan, saya hanya sedang kesal dengan banyaknya orang yang tidak terlahir sebagai hakim namun mahir menghakimi, mengambil alih kuasa Tuhan untuk menentukan baik-buruknya seseorang, sementara Tuhan sendiri sebenarnya berada di atas segala kebaikan dan keburukan.
Leave a Reply