Antara hari kemarin dan hari esok, terselip hari ini. Yang membuat “hari ini” istimewa adalah karena hari ini saya melakukan sesuatu berdasar atas apa yang terjadi hari kemarin untuk menciptakan sesuatu yang saya inginkan di hari esok. Mungkin istilah hari kurang tepat, tapi apakah kata “masa” atau “waktu” bisa menggantikan?
Mengetahui apa yang akan terjadi esok adalah hal yang menyebalkan sekalipun yang terlihat adalah hal yang menyenangkan. Karena itu saya berbahagia menjadi manusia, tidak bisa melihat masa depan dengan jelas, kecuali melalui serangkaian pertanda-pertanda.
Ah, tapi lebih seringnya semua kejadian yang saya alami adalah hal yang pernah saya “tangkap” sebelumnya. Sehingga sekarang saya yakin segala sesuatu itu mempunyai pola, sekali pola itu terbaca maka selanjutnya segala sesuatu akan berjalan mengikuti pola tersebut dan bisa disiasati.
Untuk hal-hal besar yang sepertinya berlaku secara acak, sesungguhnya masih berpola juga. Lalu kenapa pola itu tidak terlihat? Karena kita melihatnya dengan kacamata yang kekecilan.
Misalnya begini, hampir semua orang tahu bahwa dalam satu windu selalu terjadi perulangan. Sehingga sebenarnya kita hanya butuh kalender delapan tahun berturut-turut untuk digunakan seumur hidup. Nah, jika kita hanya melihat pola satu windu tersebut dalam rentang empat atau lima tahun maka yang terlihat adalah sesuatu yang acak. Barulah setelah kita mengambil rentang delapan tahun maka pola itu terlihat jelas.
Seperti halnya manusia, ada fase-fase yang mewarnai kehidupan. Ada saat untuk sedih, senang, tertawa gembira atau melucu. Meskipun saya belum pernah melakukan penelitian, namun saya percaya bahwa fase-fase tersebut selalu berurutan. Minimal bisa kita ketahui sifat seseorang, setelah sedih dia bakal ngapain dan sebagainya.
ngodod
jadi…, memperbesar perspektif kita itu adalah niscaya untuk bisa mengetahui sesuatu yang lebih besar dan atau baru?
refleksi yang keren, ndal…
detnot
Cak Nun banget jeng
iman brotoseno
seperti habis gelap terbitkah terang ? ada tangis dan ada tawa..ini sih fase optimisme, yang bisa bisa dipadu dengan aliran weruh sakdurunge winarah dari Sosrokartono..
eko
sepertinya jeng yeni abis membaca buku “joyoboyo” neh
genthokelir
refeksi yang dimunculkan dalan analisa diatas bukan kah itu seperti relaksasi ,seperti ada traumatis pada kejadian yang terpola ….weh seperti mengkultuskan pada sebuah kepastian milik Allah
kalau kegiatan mendasar mungkinkah seperti yang tertera
atau kita terjebak LITERATUR
cya
tapi bukankah setiap delapan tahun adalah delapan tahun yang berbeda?
mungkin bisa untuk menebak apa yang akan seseorang lakukan, tapi dunia di sekelilingnya pasti berubah dan menjadi berbeda sehingga reaksinya juga berbeda.
Yeni Setiawan
@mas iman
ajaran weruh sakdurunge winarah bukan hanya milik Sosrokartono kan mas? setahu saya banyak aliran kejawen yang membahas hal ini.
@cya
bener kok, yang aku jadiin sampel kan cuma pola tanggalnya, bukan kejadian-kejadiannya π
Esmo
betewe Hun…
aku juga punya kemampuan khusus semacam “weruh sakwise winarah”
maksute weruh sakdurunge winarah…
contohnya neh ya…
aku yakin, 90% lebih, kalo aku nanemnya mangga, itu pohon nggak bakal berbuah lengkeng, apalagi mentimun! π
*eh, iki ngomongne opo toh?*
ronggur
gak ngerti π
waterbomm
hemm…
*baca berulang-ulang*