Namanya Mukri, hanya dua suku kata, kakak laki-laki dari Ibu saya dan saya panggil Pakdhe. Lahir entah tahun berapa, selisih beberapa tahun dari ibu saya yang lahir tahun 1953.
Sejak saya kecil, Pakdhe Mukri ini kalau siang bertani di sawah dan malamnya berprofesi sebagai dukun pijat di desa. Namun kata ibu saya, jaman dulu Pakdhe Mukri pernah berprofesi sebagai tukang servis radio. Kalau tidak salah sekitar tahun 80-an, waktu itu radio masih lebih besar dari kotak sepatu.
Tapi saya masih terlalu kecil waktu itu, jadi begitu “njowo” saya hanya tahu bahwa Pakdhe Mukri adalah tukang pijit di desa. Pasiennya adalah masyarakat desa tempat kami tinggal.
Satu “paket” pemijatan terdiri dari dua sesi dan satu sesinya kurang lebih 1 sampai 1.5 jam. Sesi kedua biasa disebut “mindho” dan dilakukan beberapa hari setelah sesi pertama dilakukan. Di sesi kedua inilah biasanya pasien datang sambil membawa “parem“, yaitu ongkos jasa yang berupa gula, kopi/teh, beras dan sebungkus kecil kembang boreh/setaman yang dibungkus daun pisang.
Bunga setaman tersebut biasanya akan diremas-remas dan dibalurkan ke telapak dan punggung tangan Pakdhe Mukri, biasanya dilakukan setelah pasien pulang.
Begitu saya beranjak dewasa, Pakdhe Mukri selalu jadi langganan saya setiap pulang kemah, naik gunung, atau saat kecapekan karena kegiatan sekolah lainnya. Lalu saya mendapat pekerjaan dan pindah ke Jogja, Pakdhe Mukri selalu menjadi tempat yang saya tuju setiap malam begitu saya pulang ke rumah. Apalagi kalau bukan untuk pijat.
Dan pada tanggal 1 April 2009, saya mendapat SMS dari kakak saya bahwa Pakdhe Mukri meninggal setelah beberapa bulan terbaring karena stroke.
Sepagi mungkin saya pulang dan sampai rumah saat jenazah Pakdhe akan dimandikan. Saat berangkat ke pemakaman, saya sempat ikut memikul keranda dari rumah. Tapi tidak sampai ke pemakaman karena 3 pemikul lainnya lebih tinggi dari saya sehingga saya kewalahan mengimbanginya dan digantikan oleh tetangga yang lain.
Dua setengah tahun lebih telah lewat, dan malam ini adalah peringatan 1000 hari meninggalnya Pakdhe Mukri. Saya tidak pulang ke rumah untuk ikut kenduri, hanya mendoakan dari sini.
Herman Saksono
Apakah ada yang menggantikan peran tukang pijat di desamu selepas meninggalnya Pakde Mukri?
Yeni Setiawan
@Momon:
Ada Mon, istrinya Pakdhe Mukri sekarang jadi tukang pijat. Dapat warisan ilmu dari bapaknya yang juga tukang pijat.
Tapi selain budheku, juga ada 3-4 orang lain yang jadi tukang pijat sih di RW-ku. Belum termasuk tukang pijat di RW/dukuh yang lain dalam satu desa.
Antyo Rentjoko
Selalu ada “profesi” khusus dalam setiap kantong kehidupan, dan pelakunya tak menentukan tarif. Saya membayangkan begitu pula Pakde Mukri. Pekerjaan utamanya adalah bertani, tapi dapat digantikan siapa saja. Tentang pijat, semasa dia hidup, sulit orang menggantikannya. Sampai kapan kelaziman sosial ini berlangsung?
didut
saya punya juga pakde yg spt ini 🙂
si Mas Ganteng
hmmm…kalo di keluarga saya,banyaknya adik dari keluarga Mama yg jadi tukang pijat seperti ini.
saya sendiri belum pernah coba, tapi adik2 saya yg sudah coba, pijatan paklik2 saya benar2 bikin kelabakan :-))